Yang dimaksud dengan "Pemikiran Salafi" di sini ialah kerangka berpikir (manhaj fikri) yang tercermin dalam pemahaman generasi terbaik dari ummat ini. Yakni para Sahabat dan orang-orang yang mengikuti mereka dengan setia, dengan mempedomani hidayah Al-Qur'an dan tuntunan Nabi SAW.
Kriteria Manhaj Salafi yang Benar Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut : Berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
Mengembalikan masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah "muhkamat"
(yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath'i.
Memahami kasus-kasus furu' (kecil) dan juz'i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah
fundamental.
Menyerukan "Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "Taqlid" dan kebekuan.
Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
Dalam masalah fiqh, berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".
Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
Menekankan sikap "ittiba'" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat "ikhtira'"
(kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti "manhaj salafi" yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam
terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam
Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah
berhasil mentransfer Al-Qur'an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai
kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan "negara ilmu dan Iman".
Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat
dalam sejarah.
Citra "Salafiah" Dirusak oleh Pihak yang Pro dan Kontra
Istilah "Salafiah" telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap "salafiah". Orang-orang
yang pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang
sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial
saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat
keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil
dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda
"debat" dan "polemik", bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud
dengan "Salafiah" ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil.
Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan
formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini "terbelakang", senantiasa menoleh ke belakang,
tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa
kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain.
Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat
dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli.
Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan "salafiah" dan membelanya mati-matian pda
masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang
yang paling pantas mewakili gerakan"pembaruan Islam" pada masa mereka. Karena pembaruan yang
mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham "taqlid", "fanatisme madzhab" fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi
dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam
membasmi "ashobiyah madzhabiyah" ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan
hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'l - malaam 'anil - A'immatil A'lam"
karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap "tasawuf" karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan
aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab "Al-Hulul Wal-Ittihad"
(penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan
"tasawuf" untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka
memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan
warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari "Majmu' Fatawa" karya besar Imam Ibnu
Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah "Madarijus Salikin
syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in", dalam tiga jilid.
Mengikut Manhaj Salaf Bukan Sekedar Ucapan Mereka
Yang pelu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka
dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi, anda mengambil
pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz'i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan
manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh
manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian
pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya
sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya
harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam
"taqlid" yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga
mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj "nalar" dan "mengikuti dalil". Melihat setiap pendapat secara
obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu
Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup
mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi
Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: "Aku melewati hari-hari dalam
hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan,
pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia".
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: "Apa yang hendak dilakukan musuh
terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan
dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid".
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini
dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, orang seringkali melupakan, sisi "dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam
Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua
tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa
kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna
"Salafiah" yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan
"salafiah", dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi
"salafiah", ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah "Al-Manar' yang selama kurun waktu tiga
puluh tahun lebih membawa "bendera" salafiah ini, menulis Tafsir "Al-Manar" dan dimuat dalam majalah yang
sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang "pembaharu" (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca
"tafsir"nya, sperti : "Al-Wahyu Al-Muhammadi", "Yusrul-Islam", "Nida' Lil-Jins Al-Lathief", "Al-Khilafah",
"Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid" dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa
pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan "Manar" (menara) yang memberi petunjuk dalam
perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran "salafiah"nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah "emas" yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan
Al-Banna. Yaitu kaidah :
"Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling
memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat."
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai
"pengikut Salaf".
(disalin dari buku "Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah" karya Dr.Yusuf Al
Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press)
Kriteria Manhaj Salafi yang Benar Yaitu suatu manhaj yang secara global berpijak pada prinsip berikut : Berpegang pada nash-nash yang ma'shum (suci), bukan kepada pendapat para ahli atau tokoh.
Mengembalikan masalah-masalah "mutasyabihat" (yang kurang jelas) kepada masalah "muhkamat"
(yang pasti dan tegas). Dan mengembalikan masalah yang zhanni kepada yang qath'i.
Memahami kasus-kasus furu' (kecil) dan juz'i (tidak prinsipil), dalam kerangka prinsip dan masalah
fundamental.
Menyerukan "Ijtihad" dan pembaruan. Memerangi "Taqlid" dan kebekuan.
Mengajak untuk ber-iltizam (memegang teguh) akhlak Islamiah, bukan meniru trend.
Dalam masalah fiqh, berorientasi pada "kemudahan" bukan "mempersulit".
Dalam hal bimbingan dan penyuluhan, lebih memberikan motivasi, bukan menakut-nakuti.
Dalam bidang aqidah, lebih menekankan penanaman keyakinan, bukan dengan perdebatan.
Dalam masalah Ibadah, lebih mementingkan jiwa ibadah, bukan formalitasnya.
Menekankan sikap "ittiba'" (mengikuti) dalam masalah agama. Dan menanamkan semangat "ikhtira'"
(kreasi dan daya cipta) dalam masalah kehidupan duniawi.
Inilah inti "manhaj salafi" yang merupakan khas mereka. Dengan manhaj inilah dibinanya generasi Islam
terbaik, dari segi teori dan praktek. Sehingga mereka mendapat pujian langsung dari Allah di dalam
Al-Qur'an dan Hadits-Hadits Nabi serta dibuktikan kebenarannya oleh sejarah. Merekalah yang telah
berhasil mentransfer Al-Qur'an kepada generasi sesudah mereka. Menghafal Sunnah. Mempelopori berbagai
kemenangan (futuh). Menyebarluaskan keadilan dan keluhuran (ihsan). Mendirikan "negara ilmu dan Iman".
Membangun peradaban robbani yang manusiawi, bermoral dan mendunia. Sampai sekarang masih tercatat
dalam sejarah.
Citra "Salafiah" Dirusak oleh Pihak yang Pro dan Kontra
Istilah "Salafiah" telah dirusak citranya oleh kalangan yang pro dan kontra terhadap "salafiah". Orang-orang
yang pro-salafiah - baik yang sementara ini dianggap orang dan menamakan dirinya demikian, atau yang
sebagian besar mereka benar-benar salafiyah - telah membatasinya dalam skop formalitas dan kontroversial
saja, seperti masalah-masalah tertentu dalam Ilmu Kalam, Ilmu Fiqh atau Ilmu Tasawuf. Mereka sangat
keras dan garang terhadap orang lain yang berbeda pendapat dengan mereka dalam masalah-masalah kecil
dan tidak prinsipil ini. Sehingga memberi kesan bagi sementara orang bahwa manhaj Salaf adalah metoda
"debat" dan "polemik", bukan manhaj konstruktif dan praktis. Dan juga mengesankan bahwa yang dimaksud
dengan "Salafiah" ialah mempersoalkan yang kecil-kecil dengan mengorbankan hal-hal yang prinsipil.
Mempermasalahkan khilafiah dengan mengabaikan masalah-masalah yang disepakati. Mementingkan
formalitas dan kulit dengan melupakan inti dan jiwa.
Sedangkan pihak yang kontra-salafiah menuduh faham ini "terbelakang", senantiasa menoleh ke belakang,
tidak pernah menatap ke depan. Faham Salafiah, menurut mereka, tidak menaruh perhatian terhadap masa
kini dan masa depan. Sangat fanatis terhadap pendapat sendiri, tidak mau mendengar suara orang lain.
Salafiah identik dengan anti pembaruan, mematikan kreatifitas dan daya cipta. Serta tidak mengenal moderat
dan pertengahan.
Sebenarnya tuduhan-tuduhan ini merusak citra salafiah yang hakiki dan penyeru-penyerunya yang asli.
Barangkali tokoh yang paling menonjol dalam mendakwahkan "salafiah" dan membelanya mati-matian pda
masa lampau ialah Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah beserta muridnya Imam Ibnul-Qoyyim. Mereka inilah orang
yang paling pantas mewakili gerakan"pembaruan Islam" pada masa mereka. Karena pembaruan yang
mereka lakukan benar-benar mencakup seluruh disiplin ilmu Islam.
Mereka telah menumpas faham "taqlid", "fanatisme madzhab" fiqh dan ilmu kalam yang sempat mendominasi
dan mengekang pemikiran Islam selama beberapa abad. Namun, di samping kegarangan mereka dalam
membasmi "ashobiyah madzhabiyah" ini, mereka tetap menghargai para Imam Madzhab dan memberikan
hak-hak mereka untuk dihormati. Hal itu jelas terlihat dalam risalah "Raf'l - malaam 'anil - A'immatil A'lam"
karya Ibnu Taimiyah.
Demikian gencar serangan mereka terhadap "tasawuf" karena penyimpangan-penyimpangan pemikiran dan
aqidah yang menyebar di dalamnya. Khususnya di tangan pendiri madzhab "Al-Hulul Wal-Ittihad"
(penyatuan). Dan penyelewengan perilaku yang dilakukan para orang jahil dan yang menyalahgunakan
"tasawuf" untuk kepentingan pribadinya. Namun, mereka menyadari tasawuf yang benar (shahih). Mereka
memuji para pemuka tasawuf yang ikhlas dan robbani. Bahkan dalam bidang ini, mereka meninggalkan
warisan yang sangat berharga, yang tertuang dalam dua jilid dari "Majmu' Fatawa" karya besar Imam Ibnu
Taimiyah. Demikian pula dalam beberapa karangan Ibnu-Qoyyim. Yang termasyhur ialah "Madarijus Salikin
syarah Manazil As-Sairin ila Maqomaat Iyyaka Na'budu wa Iyyaka Nasta'in", dalam tiga jilid.
Mengikut Manhaj Salaf Bukan Sekedar Ucapan Mereka
Yang pelu saya tekankan di sini, mengikut manhaj salaf, tidaklah berarti sekedar ucapan-ucapan mereka
dalam masalah-masalah kecil tertentu. Adalah suatu hal y ang mungkin terjadi, anda mengambil
pendapat-pendapat salaf dalam masalah yang juz'i (kecil), namun pada hakikatnya anda meninggalkan
manhaj mereka yang universal, integral dan seimbang. Sebagaimana juga mungkin, anda memegang teguh
manhaj mereka yang kulli (universal), jiwa dan tujuan-tujuannya, walaupun anda menyalahi sebagian
pendapat dan ijtihad mereka.
Inilah sikap saya pribadi terhadap kedua Imam tersebut, yakni Imam Ibnu Taimiyah dan Ibnul-Qoyyim. Saya
sangat menghargai manhaj mereka secara global dan memahaminya. Namun, ini tidak berarti bahwa saya
harus mengambil semua pendapat mereka. Jika saya melakukan hal itu berarti saya telah terperangkap dalam
"taqlid" yang baru. Dan berarti telah melanggar manhaj yang mereka pegang dan perjuangkan sehingga
mereka disiksa karenanya. Yaitu manhaj "nalar" dan "mengikuti dalil". Melihat setiap pendapat secara
obyektif, bukan memandang orangnya. Apa artinya anda protes orang lain mengikut (taqlid) Imam Abu
Hanifah atau Imam Malik, jika anda sendiri taqlid kepada Ibnu Taimiyah atau Ibnul-Qoyyim
Juga termasuk menzalimi kedua Imam tersebut, hanya menyebutkan sisi ilmiah dan pemikiran dari hidup
mereka dan mengabaikan segi-segi lain yang tidak kalah penting dengan sisi pertama. Sering terlupakan sisi
Robbani dari kehidupan Ibnu Taimiyah yang pernah menuturkan kata-kata: "Aku melewati hari-hari dalam
hidupku dimana suara hatiku berkata, kalaulah yang dinikmati ahli syurga itu seperti apa yang kurasakan,
pastilah mereka dalam kehidupan yang bahagia".
Di dalam sel penjara dan penyiksaannya, beliau pernah mengatakan: "Apa yang hendak dilakukan musuh
terhadapku? Kehidupan di dalam penjara bagiku merupakan khalwat (mengasingkan diri dari kebisingan
dunia), pengasingan bagiku merupakan rekreasi, dan jika aku dibunuh adalah mati syahid".
Beliau adalah seorang laki-laki robbani yang amat berperasaan. Demikian pula muridnya Ibnul-Qoyyim. Ini
dapat dirasakan oleh semua orang yang membaca kitab-kitabnya dengan hati yang terbuka.
Namun, orang seringkali melupakan, sisi "dakwah" dan "jihad" dalam kehidupan dua Imam tersebut. Imam
Ibnu Taimiyah terlibat langsung dalam beberapa medan pertempuran dan sebagai penggerak. Kehidupan dua
tokoh itu penuh diwarnai perjuangan dalam memperbarui Islam. Dijebloskan ke dalam penjara beberapa
kali. Akhirnya Syaikhul Islam mengakhiri hidupnya di dalam penjara, pada tahun 728 H. Inilah makna
"Salafiah" yang sesungguhnya.
Bila kita alihkan pandangan ke zaman sekarang, kita temukan tokoh yang paling menonjol mendakwahkan
"salafiah", dan paling gigih mempertahankannya lewat artikel, kitab karangan dan majalah pembawa missi
"salafiah", ialah Imam Muhammad Rasyid Ridha. Pem-red majalah "Al-Manar' yang selama kurun waktu tiga
puluh tahun lebih membawa "bendera" salafiah ini, menulis Tafsir "Al-Manar" dan dimuat dalam majalah yang
sama, yang telah menyebar ke seluruh pelosok dunia.
Rasyid Ridha adalah seorang "pembaharu" (mujaddid) Islam pada masanya. Barangsiapa membaca
"tafsir"nya, sperti : "Al-Wahyu Al-Muhammadi", "Yusrul-Islam", "Nida' Lil-Jins Al-Lathief", "Al-Khilafah",
"Muhawarat Al-Mushlih wal-Muqollid" dan sejumlah kitab dan makalah-makalahnya, akan melihat bahwa
pemikiran tokoh yang satu ini benar-benar merupakan "Manar" (menara) yang memberi petunjuk dalam
perjalanan Islam di masa modern. Kehidupan amalinya merupakan bukti bagi pemikiran "salafiah"nya.
Beliaulah yang merumuskan sebuah kaidah "emas" yang terkenal dan belakangan dilanjutkan Imam Hasan
Al-Banna. Yaitu kaidah :
"Mari kita saling bekerja sama dalam hal-hal yang kita sepakati. Dan mari kita saling
memaafkan dalam masalah-masalah yang kita berbeda pendapat."
Betapa indahnya kaidah ini jika dipahami dan diterapkan oleh mereka yang meng-klaim dirinya sebagai
"pengikut Salaf".
(disalin dari buku "Aulawiyaat Al Harokah Al Islamiyah fil Marhalah Al Qodimah" karya Dr.Yusuf Al
Qordhowi, edisi terjemahan Penerbit Usamah Press)
0 komentar:
Posting Komentar
Jazakallah Atas kunjungan dan komentarnya, Moga bermanfaat..Syukran