Otoritas Palestina yang saat ini berada di bawah kepemimpinan Presiden Mahmoud Abbas belakangan gencar menyerukan aksi boikot barang-barang Israel yang diproduksi di wilayah pemukiman Yahudi ilegal sebagai bentuk protes atas sikap Israel yang belum juga menghentikan pembangunan pemukimannya di Yerusalem.
Seruan boikot oleh pemerintah Abbas ini dinilai sangat terlambat, karena dilakukan pada saat pasar Palestina sudah sangat tergantung pada perekonomian Israel dengan membanjirnya produk-produk buatan Israel. Sam Bahour, seorang Palestina-Amerika yang bekerja sebagai konsultan manajemen di kota Ramallah dalam komentarnya yang dimuat situs harian The Daily Star yang terbit di Lebanon mengatakan, sikap tegas Otoritas Palestina seharusnya ditunjukkan saat Perjanjian Oslo. Saat "perjanjian damai" antara Israel-Otoritas Palestina (yang saat itu di bawah kepemimpinan Yaser Arafat) itu, seharusnya pihak Palestina menolak negosiasi Israel soal pemukiman Yahudi, terutama pemukiman-pemukiman Yahudi yang dibangun di Yerusalem Timur (Al-Quds) karena pembangunan pemukiman itu ilegal berdasarkan hukum internasional, dan Otoritas Palestina seharusnya tidak menempatkan isu pemukiman Yahudi sebagai isu yang bisa dinegosiasikan sebagai solusi damai konflik dengan Israel. Tapi hal itu tidak dilakukan Otoritas Palestina.
Akibatnya, selama puluhan tahun, Otoritas Palestina bukan hanya memberi tempat bagi pasar produk Israel dari kawasan pemukiman ilegal Yahudi, tapi juga memberi peluang berbagai lapangan bisnis bagi pemukim Yahudi yang menggerus pasar bagi barang-barang produksi warga Palestina. Yang paling memprihatinkan, Otoritas Palestina membiarkan perusahan operator telekomunikasi Israel yang tidak punya izin usaha, beroperasi untuk melayani kebutuhan komunikasi wilayah pendudukan yang oleh Israel dibagi menjadi wilayah A, B, dan C. Keberadaan operator ilegal milik pengusaha Israel itu, merusak pasar bisnis telekomunikasi di wilayah Palestina sehingga banyak perusahaan telekomunikasi Palestina--yang sebenarnya diberi hak monopoli-- mengalami kerugian.
Hancurnya perekonomian warga Palestina karena ketidaktegasan Otoritas Palestina mengatur pengusaha-pengusaha Israel menurut Bahaour, menjadi persoalan yang lebih penting dibandingkan persoalan pemukiman Yahudi ilegal. Menurutnya, seruang boikot produk Israel oleh Otoritas Palestina, tidak lepas dari usaha Otoritas Palestina untuk meningkatkan pamornya di mata rakyat Palestina lewat seruan boikot itu, karena selama ini Otoritas Palestina selalu gagal menekan Israel dalam setiap perundingan.
Faksi Fatah yang saat ini berkuasa sebagai Otoritas Palestina, kata Bahour, tidak memiliki konstituen politik yang signifikan, kampanye percepatan pemilu yang mereka lontarkan juga tidak mendapat dukungan, membuat Otoritas Palestina mencari cara lain untuk menarik simpati rakyat Palestina dan ingin menunjukkan bahwa Otoritas Palestina serius melawan penjajahan Israel.
Faktanya, tegas Bahour, aksi boikot produk Israel sudah dilakukan warga sipil di Palestina maupun di luar Palestina sejak lama an sudah menjadi bagian strategi perlawanan menghadapi Israel di kalangan masyarakat sipil. Bahkan aksi boikot yang dilakukan komunitas sipil di berbagai belahan dunia lebih luas, meliputi seluruh produk asal Israel, bukan hanya produk Israel yang diproduksi dari kawasan pemukiman ilegal Yahudi di Palestina.
Bahour mencontohkan kampanye BDS (Boycott, Divestment and Sanctions) yang diserukan oleh komunitas sipil di Palestina pada 9 Juli 2005. Dalam kurun waktu lima tahun, kampanye BDS sedikit demi sedikit sudah menampakkan hasil, terbukti makin banyaknya perusahan retail di luar Palestina yang menolak menjual produk buatan Israel, termasuk perusahaan atau institusi yang memutus kerjasama kerja dan investasi dengan perusahaan Israel.
Upaya lainnya yang sudah dilakukan masyarakat sipil di Palestina ada kampanye "Intajuna", kampanye untuk mencintai dan menggunakan produk-produk lokal Palestina. Kampanye ini didanai oleh sektor perekonomian swasta di Palestina dan tidak mengandalkan bantuan dari pihak pemerintah, dalam hal ini Otoritas Palestina. Slogan kampanye "Intajuna" adalah "Beli Produk Palestina."
Kedua kampanye itu, BDS dan Intajuna mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Palestina. Berbeda dengan kampanye boikot produk Israel yang diserukan oleh Otoritas Palestina, masyarakat lebih berhati-hati dalam menyikapi seruan Otoritas Palestina ini mengingat pengalaman sejarah di masa lalu. Misalnya, ketika para pimpinan Otoritas Palestina tiba-tiba saja menghentikan gerakan sipil Intifada dengan menandatangani Perjanjian Oslo dengan Israel.
Keberhasilan kampanye BDS selayaknya mendorong kepemimpinan Otoritas Palestina untuk konsisten menerapkan kebijakan boikot seluruh produk Israel, bukan hanya produk dari pemukiman Yahudi serta memberi ruang bagi BDS agar lebih memiliki kekuatan, daripada melakukan negosiasi dengan Israel yang tidak pernah membawa hasil bagi kepentingan rakyat Palestina. Akibat berbagai kampanye boikot, sambung Bahour, para pengusaha Israel di kawasan pemukiman Yahudi kelabakan dan sekarang melakukan berbagai cara untuk menghentikan boikot. (ln/DS)
SUMBER
Seruan boikot oleh pemerintah Abbas ini dinilai sangat terlambat, karena dilakukan pada saat pasar Palestina sudah sangat tergantung pada perekonomian Israel dengan membanjirnya produk-produk buatan Israel. Sam Bahour, seorang Palestina-Amerika yang bekerja sebagai konsultan manajemen di kota Ramallah dalam komentarnya yang dimuat situs harian The Daily Star yang terbit di Lebanon mengatakan, sikap tegas Otoritas Palestina seharusnya ditunjukkan saat Perjanjian Oslo. Saat "perjanjian damai" antara Israel-Otoritas Palestina (yang saat itu di bawah kepemimpinan Yaser Arafat) itu, seharusnya pihak Palestina menolak negosiasi Israel soal pemukiman Yahudi, terutama pemukiman-pemukiman Yahudi yang dibangun di Yerusalem Timur (Al-Quds) karena pembangunan pemukiman itu ilegal berdasarkan hukum internasional, dan Otoritas Palestina seharusnya tidak menempatkan isu pemukiman Yahudi sebagai isu yang bisa dinegosiasikan sebagai solusi damai konflik dengan Israel. Tapi hal itu tidak dilakukan Otoritas Palestina.
Akibatnya, selama puluhan tahun, Otoritas Palestina bukan hanya memberi tempat bagi pasar produk Israel dari kawasan pemukiman ilegal Yahudi, tapi juga memberi peluang berbagai lapangan bisnis bagi pemukim Yahudi yang menggerus pasar bagi barang-barang produksi warga Palestina. Yang paling memprihatinkan, Otoritas Palestina membiarkan perusahan operator telekomunikasi Israel yang tidak punya izin usaha, beroperasi untuk melayani kebutuhan komunikasi wilayah pendudukan yang oleh Israel dibagi menjadi wilayah A, B, dan C. Keberadaan operator ilegal milik pengusaha Israel itu, merusak pasar bisnis telekomunikasi di wilayah Palestina sehingga banyak perusahaan telekomunikasi Palestina--yang sebenarnya diberi hak monopoli-- mengalami kerugian.
Hancurnya perekonomian warga Palestina karena ketidaktegasan Otoritas Palestina mengatur pengusaha-pengusaha Israel menurut Bahaour, menjadi persoalan yang lebih penting dibandingkan persoalan pemukiman Yahudi ilegal. Menurutnya, seruang boikot produk Israel oleh Otoritas Palestina, tidak lepas dari usaha Otoritas Palestina untuk meningkatkan pamornya di mata rakyat Palestina lewat seruan boikot itu, karena selama ini Otoritas Palestina selalu gagal menekan Israel dalam setiap perundingan.
Faksi Fatah yang saat ini berkuasa sebagai Otoritas Palestina, kata Bahour, tidak memiliki konstituen politik yang signifikan, kampanye percepatan pemilu yang mereka lontarkan juga tidak mendapat dukungan, membuat Otoritas Palestina mencari cara lain untuk menarik simpati rakyat Palestina dan ingin menunjukkan bahwa Otoritas Palestina serius melawan penjajahan Israel.
Faktanya, tegas Bahour, aksi boikot produk Israel sudah dilakukan warga sipil di Palestina maupun di luar Palestina sejak lama an sudah menjadi bagian strategi perlawanan menghadapi Israel di kalangan masyarakat sipil. Bahkan aksi boikot yang dilakukan komunitas sipil di berbagai belahan dunia lebih luas, meliputi seluruh produk asal Israel, bukan hanya produk Israel yang diproduksi dari kawasan pemukiman ilegal Yahudi di Palestina.
Bahour mencontohkan kampanye BDS (Boycott, Divestment and Sanctions) yang diserukan oleh komunitas sipil di Palestina pada 9 Juli 2005. Dalam kurun waktu lima tahun, kampanye BDS sedikit demi sedikit sudah menampakkan hasil, terbukti makin banyaknya perusahan retail di luar Palestina yang menolak menjual produk buatan Israel, termasuk perusahaan atau institusi yang memutus kerjasama kerja dan investasi dengan perusahaan Israel.
Upaya lainnya yang sudah dilakukan masyarakat sipil di Palestina ada kampanye "Intajuna", kampanye untuk mencintai dan menggunakan produk-produk lokal Palestina. Kampanye ini didanai oleh sektor perekonomian swasta di Palestina dan tidak mengandalkan bantuan dari pihak pemerintah, dalam hal ini Otoritas Palestina. Slogan kampanye "Intajuna" adalah "Beli Produk Palestina."
Kedua kampanye itu, BDS dan Intajuna mendapat dukungan dari berbagai lapisan masyarakat Palestina. Berbeda dengan kampanye boikot produk Israel yang diserukan oleh Otoritas Palestina, masyarakat lebih berhati-hati dalam menyikapi seruan Otoritas Palestina ini mengingat pengalaman sejarah di masa lalu. Misalnya, ketika para pimpinan Otoritas Palestina tiba-tiba saja menghentikan gerakan sipil Intifada dengan menandatangani Perjanjian Oslo dengan Israel.
Keberhasilan kampanye BDS selayaknya mendorong kepemimpinan Otoritas Palestina untuk konsisten menerapkan kebijakan boikot seluruh produk Israel, bukan hanya produk dari pemukiman Yahudi serta memberi ruang bagi BDS agar lebih memiliki kekuatan, daripada melakukan negosiasi dengan Israel yang tidak pernah membawa hasil bagi kepentingan rakyat Palestina. Akibat berbagai kampanye boikot, sambung Bahour, para pengusaha Israel di kawasan pemukiman Yahudi kelabakan dan sekarang melakukan berbagai cara untuk menghentikan boikot. (ln/DS)
SUMBER
0 komentar:
Posting Komentar
Jazakallah Atas kunjungan dan komentarnya, Moga bermanfaat..Syukran